Politik Krisis Identitas
Oleh: Andi Junedi Pane
Politik di Indonesia sudah agak lama berjalan tanpa identitas.
Meskipun demikian, bukan berarti identitas ditinggalkan. Identitas tetap
dipakai untuk menutup-nutupi tujuan yang akan dicapai, tujuan pragmatis
dengan mengatasnamakan identitas.
Pada era Orde Baru, politik identitas mulai tercerabut dari partai
politik sejak diberlakukan kebijakan asas tunggal. Melalui Undang
Undang Nomor 3 tahun 1985, Partai Politik dan Golongan Karya harus
menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Partai Persatuan Pembangunan (hasil fusi partai-partai Islam tahun
1973) yang awalnya beridentitaskan agama, yang ditandai dengan
pencantuman asas Islam dalam anggaran dasar, diubah menjadi berasaskan
Pancasila. Sayangnya, Pancasila yang tercantum dalam asas itu pun gagal
mencerminkan identitas kepancasilaan yang sejati karena selain prosesnya
yang dipaksakan, interpretasinya juga harus mengikuti kehendak penguasa
Orde Baru. Pancasila hanya sekadar “helm” untuk keselamatan dalam
perjalanan.
Upaya serius untuk mengembalikan identitas partai politik muncul pada
saat Orde Baru tumbang. Tahun 1998, partai-partai beridentitaskan agama
bermunculan dan menjadi peserta Pemilu tahun 1999. Namun identitas
keagamaan yang digunakan, tampaknya hanya untuk mengibarkan bendera,
atau lebih tepatnya bernostalgia seperti pada Pemilu 1955. Nilai-nilai
agama tidak tercermin pada prilaku aktor-aktornya, sangat berbeda dengan
aktor-aktor politik yang tampil pada awal kemerdekaan hingga akhir
tahun 50an.
Partai politik dan aktor-aktornya yang muncul pasca Orde Baru,
menjadikan identitas, terutama identitas keagamaan, lebih sebagai upaya
menarik suara pemilih yang memang secara sosiologis pada umumnya
memiliki keterikatan yang kuat dengan agama tertentu. Dengan
membangkitkan emosi keagamaan, harapannya bisa meraih suara secara
signifikan.
Tapi upaya itu kurang berhasil. Partai-partai beridentitaskan agama
tidak mampu meraih suara signifikan. Ada dua sebab utama mengapa
kegagalan terjadi. Pertama, karena pemerintah Orde Baru berhasil
melakukan depolitisasi melalui kebijakan massa mengambang yang sudah
dimulai sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) Nomor 12 tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6
tahun 1970 yang intinya berisi sterilisasi birokrasi dari pengaruh
partai politik. Kedua peraturan ini kemudian dipertegas dengan Kepres
Nomor 82 tahun 1971 tentang Korps Pegawai Negeri Sipil (Korpri) sebagai
satu-satunya wadah organisasi pegawai negeri.
Kebijakan massa mengambang berhasil membuat rakyat kurang peduli
dengan partai politik. Termasuk pada saat partai-partai bermunculan
menawarkan identitas agama, rakyat pada umumnya bersikap apatis. Hanya
sebagian kecil saja dari para pemilih yang memilih partai politik
didasarkan pada pertimbangan identitas agama.
Sebab kedua, sebagaimana disinggung di atas, karena aktor-aktor
politik yang mengusung identitas agama, tidak sepenuhnya berprilaku
sesuai tuntunan agama yang diusungnya. Ketidaksesuaian antara moral
agama dan prilaku politik elite partai agama membuat para pemilih tidak
yakin pada kebenaran identitas yang diusung partai-partai agama.
Setelah Pemilu berlangsung, krisis identitas dalam berpolitik
kemudian bertransformasi dalam tata kelola pemerintahan. Nilai-nilai
agama, juga nilai-nilai demokrasi yang juga diyakini tidak bertentangan
dengan nilai-nilai agama, memang muncul dalam banyak terminologi yang
mewarnai visi, misi, dan platform partai yang kemudian ditransformasikan
dalam penyusunan kebijakan-kebijakan politik kenegaraan sebagai basis
pengambilan keputusan pemerintah.
Akan tetapi, dalam praktik, nilai-nilai itu tidak diimplementasikan
dalam tata kelola pemerintahan sehingga banyak kita saksikan elite
partai politik yang mengusung identitas agama harus berurusan dengan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan harus meringkuk dalam penjara
karena terbukti secara meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi,
tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan identitas agama yang
diusungnya.
Krisis identitas terjadi bukan hanya pada mereka yang mengusung nama
agama, tapi juga pada partai politik dan aktor-aktornya yang mengusung
identitas kebangsaan (nasionalisme), dan kedaerahan (primordialisme).
Partai politik yang secara historis-normatif memiliki ikatan sangat erat
dengan identitas kebangsaan, pada saat dipercaya memimpin pemerintahan
justru cenderung membebaskan penjualan aset-aset negara yang menjadi
simbol nilai-nilai kebangsaan.
Begitu pun aktor-aktor politik yang memperjuangkan nilai-nilai
primordialisme melalui upaya-upaya pemekaran daerah, atau memperjuangkan
kekhususan daerah tertentu, prilakunya kurang mencerminkan identitas
kedaerahan yang diusungnya. Lagi-lagi, identitas hanya diperalat untuk
meraih kepentingan pragmatis.
Mengusung identitas dalam berpolitik adalah keniscayaan agar partai
politik memiliki landasan yang jelas untuk bergerak, dan jelas pula
nilai-nilai apa yang harus diperjuangkan. Namun pada saat identitas
hanya dijadikan alat untuk meraih kekuasaan, partai politik dan publik
pemilihnya kehilangan arah.
Publik (rakyat) kehilangan perspaktif dalam menentukan
pilihan-pilihan politik pada saat Pemilu baik secara nasional maupun
lokal (Pemilukada). Di antara implikasi terburuknya, besarnya politik
uang (money politics) menjadi pertimbangan umumnya pemilih dalam
menentukan pilihan di bilik suara, karena pertimbangan identitas moral
baik yang bersumber dari nilai-nilai agama maupun nilai-nilai kebangsaan
tidak bisa mereka dapatkan.