Saturday, December 26, 2015


Politik Krisis Identitas


 

Oleh: Andi Junedi Pane
 
Politik di Indonesia sudah agak lama berjalan tanpa identitas. Meskipun demikian, bukan berarti identitas ditinggalkan. Identitas tetap dipakai untuk menutup-nutupi tujuan yang akan dicapai, tujuan pragmatis dengan mengatasnamakan identitas.
Pada era Orde Baru, politik identitas mulai tercerabut dari partai politik sejak diberlakukan kebijakan asas tunggal.  Melalui Undang Undang Nomor 3 tahun 1985, Partai Politik dan Golongan Karya harus menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Partai Persatuan Pembangunan (hasil fusi partai-partai Islam tahun 1973) yang awalnya beridentitaskan agama, yang ditandai dengan pencantuman asas Islam dalam anggaran dasar, diubah menjadi berasaskan Pancasila. Sayangnya, Pancasila yang tercantum dalam asas itu pun gagal mencerminkan identitas kepancasilaan yang sejati karena selain prosesnya yang dipaksakan, interpretasinya juga harus mengikuti kehendak penguasa Orde Baru. Pancasila hanya sekadar “helm” untuk keselamatan dalam perjalanan.
Upaya serius untuk mengembalikan identitas partai politik muncul pada saat Orde Baru tumbang. Tahun 1998, partai-partai beridentitaskan agama bermunculan dan menjadi peserta Pemilu tahun 1999. Namun identitas keagamaan yang digunakan, tampaknya hanya untuk mengibarkan bendera, atau lebih tepatnya bernostalgia seperti pada Pemilu 1955. Nilai-nilai agama tidak tercermin pada prilaku aktor-aktornya, sangat berbeda dengan aktor-aktor politik yang tampil pada awal kemerdekaan hingga akhir tahun 50an.
Partai politik dan aktor-aktornya yang muncul pasca Orde Baru, menjadikan identitas, terutama identitas keagamaan, lebih sebagai upaya menarik suara pemilih yang memang secara sosiologis pada umumnya memiliki keterikatan yang kuat dengan agama tertentu. Dengan membangkitkan emosi keagamaan, harapannya bisa meraih suara secara signifikan.
Tapi upaya itu kurang berhasil. Partai-partai beridentitaskan agama tidak mampu meraih suara signifikan. Ada dua sebab utama mengapa kegagalan terjadi. Pertama, karena pemerintah Orde Baru berhasil melakukan depolitisasi melalui kebijakan massa mengambang yang sudah dimulai sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 12 tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 1970 yang intinya berisi sterilisasi birokrasi dari pengaruh partai politik. Kedua peraturan ini kemudian dipertegas dengan Kepres Nomor 82 tahun 1971 tentang Korps Pegawai Negeri Sipil (Korpri) sebagai satu-satunya wadah organisasi pegawai negeri.
Kebijakan massa mengambang berhasil membuat rakyat kurang peduli dengan partai politik. Termasuk pada saat partai-partai bermunculan menawarkan identitas agama, rakyat pada  umumnya bersikap apatis. Hanya sebagian kecil saja dari para pemilih yang memilih partai politik didasarkan pada pertimbangan identitas agama.
Sebab kedua, sebagaimana disinggung di atas, karena aktor-aktor politik yang mengusung identitas agama, tidak sepenuhnya berprilaku sesuai tuntunan agama yang diusungnya. Ketidaksesuaian antara moral agama dan prilaku politik elite partai agama membuat para pemilih tidak yakin pada kebenaran identitas yang diusung partai-partai agama.
Setelah Pemilu berlangsung, krisis identitas dalam berpolitik kemudian bertransformasi dalam tata kelola pemerintahan. Nilai-nilai agama, juga nilai-nilai demokrasi yang juga diyakini tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, memang muncul dalam banyak terminologi yang mewarnai visi, misi, dan platform partai yang kemudian ditransformasikan dalam penyusunan kebijakan-kebijakan politik kenegaraan sebagai basis pengambilan keputusan pemerintah.
Akan tetapi, dalam praktik, nilai-nilai itu tidak diimplementasikan dalam tata kelola pemerintahan sehingga banyak kita saksikan elite partai politik yang mengusung identitas agama harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan harus meringkuk dalam penjara karena terbukti secara meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi, tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan identitas agama yang diusungnya.
Krisis identitas terjadi bukan hanya pada mereka yang mengusung nama agama, tapi juga pada partai politik dan aktor-aktornya yang mengusung identitas kebangsaan (nasionalisme), dan kedaerahan (primordialisme). Partai politik yang secara historis-normatif memiliki ikatan sangat erat dengan identitas kebangsaan, pada saat dipercaya memimpin pemerintahan justru cenderung membebaskan penjualan aset-aset negara yang menjadi simbol nilai-nilai kebangsaan.
Begitu pun aktor-aktor politik yang memperjuangkan nilai-nilai primordialisme melalui upaya-upaya pemekaran daerah, atau memperjuangkan kekhususan daerah tertentu, prilakunya kurang mencerminkan identitas kedaerahan yang diusungnya. Lagi-lagi, identitas hanya diperalat untuk meraih kepentingan pragmatis.
Mengusung identitas dalam berpolitik adalah keniscayaan agar partai politik memiliki landasan yang jelas untuk bergerak, dan jelas pula nilai-nilai apa yang harus diperjuangkan. Namun pada saat identitas hanya dijadikan alat untuk meraih kekuasaan, partai politik dan publik pemilihnya kehilangan arah.
Publik (rakyat) kehilangan perspaktif dalam menentukan pilihan-pilihan politik pada saat Pemilu baik secara nasional maupun lokal (Pemilukada). Di antara implikasi terburuknya, besarnya politik uang (money politics) menjadi pertimbangan umumnya pemilih dalam menentukan pilihan di bilik suara, karena pertimbangan identitas moral baik yang bersumber dari nilai-nilai agama maupun nilai-nilai kebangsaan tidak bisa mereka dapatkan.

Tuesday, December 22, 2015

= Kuterus Melangkah Menentukan Tujuan =
Tujuan bagi saya adalah Sasaran dan cita-cita. Itu lebih sekedar mimpi, melainkan mimpi yang di wujudkan.Tampa tujuan kita tak akan pernah mencapai tujuan apa pun dalam hidup ini termasuk keberhasilan.
Prinsipny utk mencapai tujuan dari hidup adalah Menghidupinya, Merasakan berbagai pengalaman, Mencapai cita-cita, dan mncari berbagai pengalaman.
cuma dua yang bisa mententukan dalam tujuan hidup :
1.Menggambarkan masa depan menyangkut tiga bidang antara lain :
- Pekerjaan - Keluarga - Sosial
2.Memberikan kepastian dalam jawaban utk ketiga bidang tersebut.
‪#‎berpikir‬ positif Pkl.11.30 Pm
22 desember 2015 / Andi Junedi Pane

Tuesday, December 8, 2015

HIDUP ADALAH BELAJAR
Dari Air kita belajar ketenangan dan dari Batu kita belajar Ketegaran
Dari Tanah kita belajar Kehidupan dan dari Kupu2 kita belajar merubah diri
Dari padi kita belajar rendah hati dan dari tuhan kita belajar kasih sayang
yang sempurna tapi Ketika meliat keatas pasti memperoleh semangat utk maju dan ketika meliat kebawah bersyukur atas semua yg ada...
Meliat kesamping Semangat kebersamaan dan Meliat Keb
elakang

Pengalaman yg sangat berharga
Meliat Kedalam utk intropeksi diri dan Meliat ke depan utk jalan lebih baik
Terkadang ada hal2 yang perlu kita relakan bukan karena kita sudah lelah memperjuangkan namun kita tahu bahwa tidak semua hal yg kita inginkan dapat kita miliki

Sunday, December 6, 2015

Orang sombong seperti berdiri di atas gunung dia meliat orang kecil
Padahal dia tidak sadar orang lain juga meliat dia kecil


Thursday, December 3, 2015

“Kesulitan Manusia adalah Menentukan sendiri akhir dari cerita kehidupan ini, belajar bukan cuma pakai nalar, hati juga dipakai, untuk menjadi manusia akhlak dan bukan cuma jadi manusia hukum”
Saya yakin semua bisa saling melengkapi, tinggal apa yang menjadi dasar dan proses kita dalam menentukan.

11 januari 2009


Jangan tertarik kepada seseorang karena parasnya, sebab keelokan paras dapat menyesatkan.
Jangan pula tertarik kepada kekayaannya,sebab kekayaan dapat musnah.
Tertariklah kepada seseorang yang dapat membuatmu tersenyum, sebab hanya senyum yang dapat membuat hari-hari yang gelap menjadi cerah.